A.
BERSIKAP EMPATI
Empati suatu istilah umum yang dapat digunakan
untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara kepribadian-kepribadian. “
Empati ” merupakan arti dari kata “einfulung” yang dipakai oleh para psikolog
Jerman. Secara harfiah ia berarti “merasakan ke dalam”. Empati berasal dari
kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang
mendekati penderitaan, dan kemudian diberi awalan “in”. Kata ini paralel dengan
kata “ simpati “. Tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Bila simpati
berarti merasakan bersama dan mungkin mengarah pada sentimentalitas, maka
empati mengacu pada keadaan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada
seseorang, sedemikian sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan/
kehilangan identitas dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam dan
misterius inilah berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antar
pribadi yang penting.
Menurut
bebrapa ahli empati adalah :
1.
George & Cristiani (1981), empati adalah kemampuan untuk
mengambil kerangka berpikir klien sehingga memahami dengan tepat kehidupan
dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikan kembali dengan jelas
terhadap klien. Dengan berempati, memungkinkan konselor untuk mendengar dan
bereaksi terhadap kehidupan perasaan klien, yakni : marah, benci, takut,
menentang, tertekan, dan gembira.
2. Stewart (1986) merumuskan empati
sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa
memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Empati menuntut untuk masuk ke
pandangan dunia klien dan untuk melihat dengan mata mereka.
3. Rogers, empati berarti memasukkan
dunia klien beserta perasaan-perasaannya ke dalam diri sendiri tanpa terhanyut
oleh pikiran dan perasaan klien.
4. Menurut Sutardi (2007), pengertian
empati dapat dianggap kelanjutan dari toleransi. Empati dapat dimaknai sebagai
kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh seorang individu atau suatu
kelompok masyarakat.
Dari definisi empati diatas dapat
disimpulkan. Empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang
dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan
oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa
yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Empati berperan penting
dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen,
hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup
self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri,
makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak
diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam
isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh,
ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang
untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang
lain.
B. MAKNA
PENTING EMPATI
Menurut Rogers dalam Konseling dan Psikoterapi (Gunarsa
Singgih, 1992, hal. 72), empati bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif
namun meliputi emosi dan pengalaman. Juga diartikan sebagai usaha menglami
dunia klien sebagaimana klien mengalaminya. Karena itu, seorang kenselor
harus berusaha memahami pengalaman klien dari sudut klien itu sendiri. Dalam
makalahnya yang berjudul “ The Necessary and Sufficient Conditions of
Therapeutic Personality Change ”(Kondisi Yang Harus Terjadi Dan Cukup Bagi
Perubahan Pada Klien), Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding,
yakni kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding
merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis
dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau
keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan
(care).
1. Tanpa empati, tidak mungkin ada
pengertian. Memahami secara empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami
cara pandang dan perasaan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami
orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya dia berusaha memahami pikiran dan
perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan
merasakan atau melihat dirinya sendiri. Memahami klien berdasarkan kerangka
persepsi dan perasaan klien sendiri oleh Rogers disebut internal frame of
reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.
2. Menurut Rogers empati konselor
sebagai salah satu factor kunci yang membantu klien untuk memecahkan masalah
personalnya. Ketika kita berempati kepada orang lain, kita meletakkan diri kita
“in their shoes”, melihat dunia dari mata mereka, membayangkan bagaimana bila
menjadi mereka, dan berusaha merasakan apa yang mereka rasakan.
3. Faktor sosial dan budaya (seperti
gender, etnis, perbedaan kultur) mempunyai pengaruh dalam pengekspresian emosi.
Faktor ini mempengaruhi cara bagaimana konselor merespon secara emosional.
4. Jika klien merasa dimengerti, maka
mereka akan lebih mudah membuka diri untuk mengungkapkan pengalaman mereka dan
berbagi pengalaman tersebut dengan orang lain. Klien yang membagi pengalamannya
secara mendalam memungkinkan untuk menilai kapan dan di mana mereka membutuhkan
dukungan, dan potensi kesulitan yang membutuhkan fokus untuk rencana perubahan.
5. Saat klien melihat empati pada diri
konselor, mereka akan lebih nyaman untuk dan tidak melakukan defend seperti
penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor mampu memfasilitasi
perubahan pada klien. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri terhadap dunia
luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah
menjadi perkataan “emphatic understanding”.
C. MENGKOMUNIKASIKAN
EMPATI
Empati membutuhkan kemampuan konselor dan usaha untuk
menempatkan ia pada posisi klien dan memahami dunia klien. Tetapi empati
sendiri tidak akan efektif bila tidak di barengi dengan kemampuan untuk
mengkomunikasikan dan menunjukkan empati itu. Klien akan berfikir bahwa
konselor berempati hanya jika mereka melihat dan percaya hal tersebut. Truax
dan Carkhuff mengemukakan bahwa dalam memahami secara empati ini sangat perlu
konselor menerima dan mengkomunikasikan baik secara verbal maupun non verbal,
secara akurat dan penuh kepekaan tentang perasaan dan makna perasaan itu. Ada
tiga aspek dalam empati menurut Patterson (1980), yaitu:
1. Keharusan bahwa konselor
mendengarkan klien dan mengkomunikasikan persepsinya kepada klien.
2. Ada pengertian atau pemahaman
konselor tentang dunia klien.
3. Mengkomunikasikan pemahamannya
kepada klien.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merespon:
1. Respon harus pendek dan to the
point, menangkap esensi dari perasaan dan situasi.
2. Bukan pengulangan dari apa yang telah
dikatakannya.
Diulangi dalam kata yang berbeda.
3.
Harus lebih dalam dari apa yang telah dikatakan, seperti
menebak perasaan yang tidak diungkapkan (jika terkaan itu salah hal ini
bukanlah masalah. Klien akan membenarkan dan menjelaskan).
Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe
untuk memahami “emphatic understanding”, yakni :
1. primer, adalah empati sebagaimana
dikemukakan oleh Rogers.
Membentuk fondasi dan atmosfer inti
helping relationship. Termasuk mendengarkan semua pesan dan meresponnya. Kemampuan paraphrasing
dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan memulai dasar empati untuk
memahami klien.
2. Empati lanjutan (advanced accurate
emphaty)
Memahami hal yang tersembunyi dari
klien, bentuk dasar dari empati lanjutan adalah memberi respon dan pemahaman
terhadap hal yang tidak langsung dikatakan klien. Di mana konselor memberikan
lebih dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk mempengaruhi
klien. Karena informasi itu selalu subjektif bagi interpretasi individu,
konselor harus menyusun kembali situasi, kepercayaan, atau pengalaman untuk
membantu klien melihatnya dari perspektif yang berbeda dan mengecek apakah interpretasi
itu sudah benar.
Advanced emphaty lebih kritis,
mendalam, dan membahas masalah yang sensitif oleh karena itu dapat menyebabkan
klien bertambah stress. Untuk mencegah klien mengalami emosi berlebihan dan
melakukan perlawanan respon empati konselor harus bersifat sementara dan
hati-hati.
D. EMPATI DALAM
BERBAGAI PERSFEKTIF
Perbedaan-perbedaan pandangan tidak hanya terjadi pada
disiplin ilmu yang berbeda, dalam internal psikologi konsep empati dapat
dipandang secara berbeda oleh aliran-aliran di dalamnya. Di bawah ini akan
diuraikan pendekatan-pendekatan teoritis yang telah dikembangkan oleh tiga
aliran utama psikologi, yaitu: psikoanalisis, behaviorisme, dan humanisme.
1. Perspektif Psikoanalisis
Teori-teori psikoanalisis
menggambarkan kemunculan konsep empati lebih pada konteks interaksi emosional
antara ibu dan anak. Yaitu bagaimana seorang ibu mampu meredakan kemarahan
anak, memberikan pelukan kehangatan yang menenangkan, memberikan jalan keluar
atas masalah yang dihadapi, dan seterusnya. Demikian pula tentang bagaimana
anak bisa menempatkan diri dalam menanggapi ‘senioritas dan otoritas’ peran
orang tua dalam keluarga.
Menurut psikoanalisis, empati
merupakan pusat dari hubungan interpersonal. Dalam arti lain, kunci dari
hubungan interpersonal adalah empati. Dalam hubungan keluarga, Harry S.
Sullivan (salah satu tokoh psikoanalisis) memandang ibu dan anak berada di
dalam satu ikatan hubungan empatik yang saling membutuhkan, dia menyebutnya
sebagai empati primitif.
2. Perspektif Behaviorisme
Para tokoh behaviorisme tertarik
untuk menghubungkan empati dengan perilaku menolong yang diawali dengan sebuah
pertanyaan mendasar “mengapa orang menolong”. Untuk menjawab pertanyaan ini
mereka menjelaskan dengan berpijak pada teori classical conditioning dari Ivan Pavlov,
yaitu perilaku menolong merupakan hasil dari pembelajaran sosial, yang meliputi
conditioning (pembiasaan), modeling (keteladanan), dan insight (pemahaman).
Peranan pembelajaran dan
perkembangan kognitif seiring dengan munculnya konsep empati telah dipahami
oleh beberapa peneliti behaviorisme, meskipun kurang begitu diperhatikan.
Misalnya, Aronfreed (2000) menyatakan bahwa empati dipelajari melalui proses
pembelajaran di waktu anak-anak. Dalam pandangan ini empati berkembang melalui
pengulangan-pengulangan perasaan anak melalui isyarat emosional orang lain.
Teori-teori Aronfreed lebih memfokuskan kepada perkembangan ketidaknyamanan personal dan aksi prososial daripada perkembangan terhadap sympathetic concern. Oleh karena itu, teori-teorinya lebih memfokuskan kepada mekanisme perkembangan empati.
Teori-teori Aronfreed lebih memfokuskan kepada perkembangan ketidaknyamanan personal dan aksi prososial daripada perkembangan terhadap sympathetic concern. Oleh karena itu, teori-teorinya lebih memfokuskan kepada mekanisme perkembangan empati.
3. Perspektif Humanistik
Dalam teori-teori humanistik,
khususnya dalam psikoterapi dikatakan bahwa hubungan terapeutik merupakan kunci
sukses dalam psikoterapi. Namun demikian, menurut Bohart & Greenberg
(1997), pengaruh yang besar tersebut masih kalah perannya dibandingkan dengan
peranan empati. Hubungan terapeutik tidak akan sukses tanpa melibatkan empati
didalamnya, Karena empati merupakan pintu masuk utama bagi kesuksesan sebuah
terapi. Hal itu sejalan dengan pendapat Rogers (1986), bahwa empati adalah
salah satu unsur kunci dalam menciptakan hubungan terapeutik.
Seiring dengan pertalian yang erat
antara empati dan psikoterapi, hal itu menandakan bangkitnya ketertarikan
terapis terhadap konsep-konsep empati untuk digunakan dalam praktik-praktik
mereka. Ketertarikan mereka terlihat jelas pada periode 1960-an dan awal 1970.
Dalam kurun waktu itu dilakukan sejumlah besar aktivitas penelitian untuk
menguji hipotesis-hipotesis Carl Rogers tentang tiga kondisi terapis, yaitu
penghargaan positif secara penuh, empati, dan hubungan keikhlasan (altruisme)
antara klien dan terapis.
E. EMPATI DALAM
BIDANG-BIDANG PSIKOLOGI
Satu abad setelah diperkenalkannya konsep empati, kini
konsep empati telah berkembang luas
khususnya dalam ilmu psikologi. Hal ini tidak lepas dari
upaya-upaya simultan dari para ilmuwan untuk membangun konsep yang pada awal
perkembangannya mengalami banyak pertentangan. Bidang-bidang psikologi yang
secara intens mengembangkan konsep empati antara lain: psikologi kepribadian,
psikoterapi, serta psikologi sosial dan perkembangan.
1. Empati dalam Teori Kepribadian
Konsep empati relatif baru
diperkenalkan dalam teori kepribadian, meskipun sesungguhnya secara implisit
konsep empati telah masuk dalam teori kepribadian sejak awal digulirkannya.
Karena semua yang dibicarakan dalam empati merupakan fenomena kepribadian. Para
teoretikus lama sebenarnya tidak pernah mengkhususkan bahwa dirinya adalah
teoretikus psikologi kepribadian, perkembangan, sosial maupun psikoterapi.
Namun karena karya-karyanya banyak berpengaruh terhadap perkembangan
bidang-bidang ilmu tersebut, para ilmuwan selanjutnya mengklasifikasikan mereka
sesuai dengan bidang-bidang yang telah dibuat. Namun, ada beberapa ilmuwan yang
tidak secara konsisten masuk hanya pada satu bidang, misalnya Carl Rogers. Ia
dikenal sebagai ilmuwan lintas bidang, karena selain teori-teorinya banyak
direfer oleh para ilmuwan dari psikologi kepribadian, teorinya juga diacu oleh
para ilmuwan dalam bidang psikoterapi. Istilah empati sangat dekat dengan
teori-teori konseling person-centered milik Rogers.
Sementara itu, Downey (1929) seorang psikolog yang cukup dikenal pada zamannya, memiliki ketertarikan dalam mengkaji konsep empati dari bidang ilmu estetika hingga kepribadian. Dalam memahami empati sebagai “feeling in”, Downey mengatakan bahwa hal itu tidak hanya mengandung arti sikap-sikap motorik dan emosional yang bersangkutan saja, melainkan juga diproyeksikan kepada orang lain (keluar dari diri yang bersangkutan).
Dalam buku kepribadian Gordon W. Allport Personality: A Psychological Interpretation yang ditulis pada tahun 1937 yang kemudian direvisi pada tahun 1961, Allport mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinatif pada diri seseorang di dalam pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap orang lain. Dia memercayai bahwa empati berada diantara inferensi (dugaan, kesimpulan atas kondisi orang lain) dan intuisi. Dalam kesimpulan di buku kepribadiannya, Allport membuat pernyataan tentang teka-teki rentang antara intuisi dan inferensi. Pernyataannya itulah kelak yang dikenal sebagai empati.
Sementara itu, Downey (1929) seorang psikolog yang cukup dikenal pada zamannya, memiliki ketertarikan dalam mengkaji konsep empati dari bidang ilmu estetika hingga kepribadian. Dalam memahami empati sebagai “feeling in”, Downey mengatakan bahwa hal itu tidak hanya mengandung arti sikap-sikap motorik dan emosional yang bersangkutan saja, melainkan juga diproyeksikan kepada orang lain (keluar dari diri yang bersangkutan).
Dalam buku kepribadian Gordon W. Allport Personality: A Psychological Interpretation yang ditulis pada tahun 1937 yang kemudian direvisi pada tahun 1961, Allport mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinatif pada diri seseorang di dalam pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap orang lain. Dia memercayai bahwa empati berada diantara inferensi (dugaan, kesimpulan atas kondisi orang lain) dan intuisi. Dalam kesimpulan di buku kepribadiannya, Allport membuat pernyataan tentang teka-teki rentang antara intuisi dan inferensi. Pernyataannya itulah kelak yang dikenal sebagai empati.
2. Empati dalam Terapi
Empati didefinisikan oleh Rogers
sebagai kemampuan untuk memandang kerangka berpikir internal orang lain secara
akurat dengan komponen-komponen emosional yang saling berhubungan. Empati
merupakan pengalaman individual seseorang yang seolah-olah berada pada posisi
orang lain (Rogers, 1959). Namun sebaliknya psikoanalisis menekankan pada
dorongan empati yang mengarah pada struktur ketidaksadaran terhadap
pengalaman-pengalaman yang menitikberatkan pada eksistensi klien di dalam
kehidupan, sementara bagi terapis-terapis client-centered, empati lebih
memfokuskan pada pengalaman dan pemaknaan klien dari momen ke momen, dalam hal
ini terapis mencoba secara imajinatif untuk memasuki pengalaman-pengalaman
klien dalam mengemukakan pendapatnya dengan terapis (Bohart & Greenberg,
1997).
Dalam client-centered therapy, empati berbeda dengan anggapan-anggapan positif, dan simpati ataupun rasa iba. Menurut Rogers (1957), empati merupakan salah satu dari tiga “kondisi-kondisi terapeutik”, dimana menurutnya empati perlu dan penting untuk terjadinya perubahan terapeutik ke arah yang lebih baik. Rogers menyatakan empati bila dikomunikasikan dengan anggapan-anggapan positif akan memberikan kontribusi bagi klien untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Dalam client-centered therapy, empati berbeda dengan anggapan-anggapan positif, dan simpati ataupun rasa iba. Menurut Rogers (1957), empati merupakan salah satu dari tiga “kondisi-kondisi terapeutik”, dimana menurutnya empati perlu dan penting untuk terjadinya perubahan terapeutik ke arah yang lebih baik. Rogers menyatakan empati bila dikomunikasikan dengan anggapan-anggapan positif akan memberikan kontribusi bagi klien untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
3. Empati dalam Psikologi Sosial dan
Perkembangan
Tonggak awal munculnya psikologi
sosial ditandai dengan terbitnya buku An Introduction to Social Psychology
karya McDougall (1908), hanya saja karya ini kurang begitu diminati oleh
ilmuwan-ilmuwan lainnya. Selain McDougall, Allport (1924) juga menerbitkan buku
Social Psychology. Dalam bukunya Allport banyak melakukan elaborasi atas
topik-topik psikologi sosial yang ditulis oleh McDougall. Elaborasi Allport dibawa
kepada wilayah-wilayah yang lebih mudah diterima kalangan ilmuwan lainnya pada
waktu itu (American Psychology). Namun demikian, sebagaiman buku McDougall,
dalam karya Allport ini masih belum menyinggung konsep empati.
Pada tahun 1960-an peminat kajian di bidang ini meningkat secara tajam. Meskipun pada bahasan awal tidak membahas konsep empati, namun mereka sudah mulai memperkenalkan variabel-variabel tergantung (dependent variables) dari empati, seperti helping, giving, intervening, dan lain sebagainya. Untuk menjelaskan variabel-variabel tergantung ini para ilmuwan menggunakan konsep-konsep motivasional, seperti altruism, dependence, mood, dan empati.
Pada tahun 1960-an peminat kajian di bidang ini meningkat secara tajam. Meskipun pada bahasan awal tidak membahas konsep empati, namun mereka sudah mulai memperkenalkan variabel-variabel tergantung (dependent variables) dari empati, seperti helping, giving, intervening, dan lain sebagainya. Untuk menjelaskan variabel-variabel tergantung ini para ilmuwan menggunakan konsep-konsep motivasional, seperti altruism, dependence, mood, dan empati.
F. KOMPONEN-KOMPONEN
EMPATI
1. Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan yang
menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan beberapa ilmuan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam
proses empati.
Hoffman (2000) mendefinisikan
komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman
masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui
pengalaman-pengalaman.
Fesback (1997) mendefinisikan aspek
kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional
yang berbeda.
Eisenberg dan Strayer (1987)
menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah
pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain.
Ada beberapa tingkatan-tingkatan
dalam proses kognitif :
a. Differenttiation of the self
from others, menurut piaget pada tahun pertama anak-anak belum mampu
membedakan antara diri mereka dengan orang lain.
b. The differentiation of emotional
states, yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat bentuk-bentuk
emosi yang berbeda yang didasarkan pada kedua isyarat efektif dan situasional.
c. Social referencing and emotional
meaning, menjelaskan bahwa ekspresi-ekspresi emosional orang tua menjadi
penuntun atau contoh (guide) perilaku-perilaku anak di dalam sejumlah situasi
yang berbeda-beda, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain.
d. Labelling different emotional
states, sehubungan pada kondisi-kondisi emosi dasar telah dikemukakan bahwa
anak-anak pada usia emapat hingga lima tahun memilki keakuratan berpikir. Pada
usia-usia tersebut mereka sudah mulai membedakan atau memahami
perbedaan-perbedaan ekspresi.
e. Cognitive role taking ability,
kemampuan menempatkan diri sendiri kedalam situasi orang lain dalam rangka
untuk mengetahui secara tepat pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang itu
(hoffman, 2000).
2. Komponen Afektif
Dua komponen afaktif diperlukan
untuk terjadinya pengalaman empati yaitu, kemampuan untuk mengalami secara
emosi dan tingkat reaktivitas alam emosional yang memadai yaitu kecenderungan individu
untuk bereaksi secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi termasuk
emosi yang tampak pada orang lain. Untuk menjelaskan proses kogitif dan afektif
ini, Oswald (1996) menggunakan konsep perspektif taking. Dia mendefinisikan
perspektif taking sebagai konstrak multidimensional yang dapat diatur
secara konseptual dan metodis kedalam tiga kategori : ognitif, afektif, dan
perseptual. Cognitive perspektive taking didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengidentifikasi dan memahami pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan orang
lain.
3. Komponen Kognitif dan Afektif
Thornton dan thornton (1995)
melaporkan bahwa suatu alat ukur akan lebih mendekati pengertian empati9yang
disetujui oleh sebagian besar ahli) dan lebih akurat, apabila instrument
tersebut mengombinasikan dua pendekatan yaitu kognitif dan afektif.
4.
Komponen Komunikatif
Teoretikus mengatakan yang dimaksud
komunikatif yaitu perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan empatik
(Bierhoff, 2002). menurut Wang dkk, (20003), komponen empati komunikatif adalah
ekspresi dari pikiran-pikiran empatik (intelecctual empathy) dan
perasaan-perasaan (empathic emotions) tehadap orang lain yang dapat
diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.
G. EMPATI
DAN LATAR BELAKANG PSIKOLOGI
Hubungan
antara Empati dan kepribadian
Empati
kadang-kadang dilihat sebagai keterampilan individu atau sifat kepribadian yang
penting dalam berurusan dengan orang lain. Empati memainkan peran kunci dalam
kecerdasan emosional seseorang.
Empati dan
Perkembangan fisik
Empati adalah
sifat yang tertanam dalam pengembangan emosional dan kognitif individu.
Penelitian menunjukkan empati yang berkembang sendiri sekitar usia Balita
contoh menghibur orang lain pada usia muda. Bahkan balita dapat bermain
mempermainkan dari usia itu bahwa mereka bisa menipu orang lain. Keterampilan
ini mengharuskan anak tahu apa yang orang lain percaya, sehingga balita bisa
memanipulasinya.
Apakah hewan
memiliki empati?
Menyadari
ekspresi ketakutan, kemarahan dan rasa sakit pada hewan lain dilihat dari sudut
pandang evolusi tampaknya merupakan prasyarat penting untuk hewan untuk
beradaptasi terhadap lingkungannya dan kelangsungan hidupnya. Kera dan simpanse
terkadang menunjukkan kompetisi bersama yang kuat dan perilaku kekerasan,
tetapi juga muncul peka terhadap penderitaan sesamanya. Penelitian kera dan
simpanse menunjukkan bahwa bahkan pada hewan tersebut terdapat perilaku empatik
terjadi dalam bentuk kenyamanan satu sama lain dan pengakuan ekspresi wajah.
Ada juga suatu bentuk perilaku empatik pada tikus. Juga diri pengakuan hewan
dalam tes cermin terlihat sebagai tanda empati pada hewan.
Empati dan
autisme
Penelitian
menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu merasakan empati, atau emosi orang
lain memperhatikan. Jadi, apakah autisme dan sindrom Asperger sering ditandai
dengan pengurangan kapasitas untuk empati bagi orang lain?. Ini tidak berarti
bahwa orang-orang tidak memiliki perasaan untuk orang lain dapat berkembang.
Hal ini bahkan umum bagi orang-orang untuk mengembangkan perasaan yang kuat
bagi orang lain sebagai akibat dari salah membaca emosi seseorang.
Empati dan
gangguan perilaku
Kurangnya empati dapat berhubungan dengan sifat
alexithymia. Kurangnya empati akhirnya akan juga berlaku untuk orang-orang
dengan apa yang disebut gangguan psikopat. Ini ternyata mampu membuatnya tampak
seolah-olah mereka menyadari emosi orang lain, yang mereka kadang-kadang
meyakinkan perawatan atau persahabatan dipertunjukan. Mereka dapat menggunakan
kemampuan ini untuk memanipulasi orang lain